Kamis, 09 Desember 2010

lanjutan...

Bagian 2 Matahari pagi memancarkan cahayanya, burung-burung kecil berkicau, titik embun di atas daun berjatuhan, kabut pagi semakin lama semakin tipis, jalan-jalan mulai penuh dengan orang yang berlalu lalang. “ Morning!” sapa mamaku seraya membangunkan aku yang masih berselimutkan rasa malas. Namun, segera kubuka mataku karena cahaya dari jendela membuat mataku terasa silau. Kuberi seulas senyum ke arah mamaku untuk menyapanya. “Suster yang akan merawat kamu sudah datang, mama harap kamu bersikap baik dengannya karena mama rasa orangnya dapat menjadi temanmu ketika mama bekerja,” kata mamaku, kemudian beliau mencium keningku dan berpamitan kepadaku karena beliau harus pergi bekerja. Aku masih tetap diam diatas tempat tidurku, kubiarkan mamaku berlalu. Hingga sebuah suara mengagetkanku. “Pagi!” aku melihat ke arah suara itu bersumber, kulihat perempuan dengan postur tubuh yang tinggi menggunakan pakaian tugasnya, dengan tangan yang terselip di kedua sakunya suster itu menatapku dan memberi senyum yang pernah aku kenal. Aku menghela nafas dan hatiku merasa tenang melihat suster itu karena suster yang akan merawatku adalah suster yang baik. Suster yang setia merawatku selama di rumah sakit kemarin. Suster Velia, seseorang yang membuat aku tetap semangat meskipun apa yang sudah menjadi jalanku sulit untuk dilalui. Seseorang yang mempunyai impian agar aku tetap menjadi sang pemimpi sejati. “Selamat pagi,” kata suster velia lagi, aku masih diam menatapnya. Mataku tak berkedip melihat orang yang menurutku perfect. Suster Velia melambaikan tangannya didepan mataku sehingga membuatku sadar dengan apa yang telah aku lakukan. Aku tersenyum dan meminta maaf kepada suster karena membuatnya bingung serta tanpa sengaja mengacuhkan dirinya. “Aku senang sekali suster mau menemaniku,” aku bangun dan membenarkan letak bantalku, suster itu hanya tersenyum dan mengambil sarapan di atas meja, ia menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Setelah selesai makan ia membantuku minum obat. “Suster mau kemana?” tanyaku ketika suster beranjak dari tempat tidurku. “ suster maukah mengantarkan dan menemaniku ke rumah seseorang?” pintaku kepada suster itu. “ Tentu saja, kamu mau diantar kemana?” “Aku ingin sekali menemui orang ini untuk menanyakan keberadaan temanku sekarang,”jawabku. Akhirnya aku dan suster pergi ke rumah seseorang yang menurutku, beliau mengetahui keberadaan teman-teman lamaku. Sekitar sepuluh menit waktu yang kami butuhkan untuk mencapai rumah tersebut. Sesampai di depan pintu rumah yang dimaksud, suster Velia mengetuk pintu. Tak berapa lama pintu dibuka oleh seseorang yang terlihat lusuh, kulitnya semakin keriput, rambutnya memutih. Berbeda dengan tujuh tahun yang lalu ketika ia masih menjadi orang yang sering bantu bersih-bersih di rumah Alena. “ Selamat siang, “ Sapa suster Velia “ Siang,” jawab sang tuan rumah dengan sedikit batuk-batuk. Sepertinya Ibu Marni kaget melihat kedatangan kami, beliau menatapku dengan ekspresi yang kelihatan bingung. “ Ibu ingat saya kan? Saya Andien Bu, Teman Alena kecil dulu. Kulihat Ibu Marni berusaha mengingat-ingat masa lalu, ia memegang tanganku, kemudian membelai rambutku. “ Iya, saya ingat. Non Andien kenapa datang kesini?” Kata Bu Marni, kemudian menyuruh aku dan suster untuk masuk. Setelah aku dan suster duduk, aku mengutarakan maksud dan tujuanku. “Setelah Alena pergi, ibu masih sering berkomunikasi sama dia?” tanyaku. “Sebelum Non Alena pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya, Non Alena sering menelpon ibu. Tapi setelah pergi, Non Alena tak pernah meninggalkan pesan apa-apa” terang Ibu Marni. “ Jadi, alena sekarang di luar negeri?? Ibu tahu dia di mana sekarang??” tanyaku lagi. Rasa penasaranku terus membumbung. “ Non Alena pernah bilang, akan meneruskan sekolah musiknya di Paris. Tapi Ibu tak tahu apa non Alena benar-benar melanjutkan sekolahnya disana”. Kata Ibu Marni kemudian masuk ke dalam, hendak mengambil sesuatu di kamarnya. Aku dan suster Velia menuggu lama di ruang tamu. “ Hmm... Andien, siapa itu Alena?” tanya suster Velia kepadaku, aku menoleh ke arah suster dan aku tersenyum. “Alena, teman kecilku dulu, sebenarnya ada satu lagi namanya Rivano, kita pernah berjanji akan selalu bersama sampai kita benar-benar mewujudkan impian kita tapi kini semuanya sudah tinggal kenangan, semua pergi meninggalkan sisa-sisa impianku untuk berkumpul bersama dengan teman-teman masa kecilku. “ Tenanglah, suster yakin kamu akan berjumpa dengan teman-teman kecil kamu,“Suster meyakinkanku agar aku tenang, sewaktu hilang sudah akalku untuk mencari Alena dan Rivano. Tak berapa lama ibu Marni datang dengan membawa sebuah buku tebal, seperti buku diary seseorang. Kemudian Bu Marni meletakkan buku diary tersebut di atas tanganku. “Buku siapa ini, Bu?” tanyaku kemudian. “ Itu buku Non Alena, Non Alena pernah berpesan buku tersebut harus diberikan kepada Non Andien atau Den Rivano,” kata Bu Marni kembali. Aku terdiam memandang buku tersebut. Tertulis nama Alena dengan jelas di Sampul berwarna pink muda. “ Bu, apakah benar ini untukku?” tanyaku memastikan buku tersebut akan ibu Marni berikan kepadaku. “ Ibu tidak tahu pasti buku tersebut untuk siapa, tapi Non Alena hanya berpesan buku itu tolong berikan kepada Non Andien atau Den Rivano, berhubung Non Andien datang terlebih dahulu kesini, maka bawalah buku tersebut, “ kata Bu Marni kemudian. Setelah ibu Marni mengatakan sesuatu hal tentang buku tersebut, aku dan suster pamit pulang dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Bu Marni. Didalam perjalanan, suster sengaja mendiamkan aku dengan tetap memegang buku diary Alena yang belum aku ketahui isinya. **** Setelah makan malam akupun segera pergi ke kamar tidur dengan alasan aku mengantuk. Ibu nampak heran melihat sikapku yang tidak seperti biasanya aku seperti itu. Biasanya aku menonton tv dengan ibu sampai malam atau bahkan kami ngobrol hingga keasyikan dan lupa tidur. Tapi Ibu nampaknya memaklumi sikapku yang seperti ini karena beliau tahu tadi siang aku pergi dengan suster Velia menemui Bu Marni. Selain itu Ibu mengerti keadaanku yang kadang bisa drop kapan saja. Aku mengunci pintu kamarku. Ku langkahkan kakiku menuju meja kecil disamping tempat tidurku. Kuambil buku diary yang kudapatkan dari Bu Marni tadi siang. Aku duduk di atas tempat tidurku. Kubukua buku tersebut pada halaman pertama. Kucermati dan kubaca tulisan tangan Alena yang sangat rapi tidak seperti tulisanku yang tidak layak disebut tulisan tangan seorang gadis.

1 komentar:

Hani Sahid mengatakan...

buruan diterusin lagi eh.. penasaran ! jangan jangan alena dah kawin tuh sama tmen kcilnya yang cowok???